19 Feb 2011 By: Gede Astawan

Petulu dan Kokokan

Kriiiiiinggggggg……!!! Hiruk pikuk alarm menyadarkan mataku dari bunga tidur panjang. Tak terasa waktu sudah menunjukkan pukul 05.00 pagi. Tapi tak satupun sahutan ayam berkokok kudengar. Dasar memang para ayam sudah enggan dikurung sekarang, saking sudah jarang banget arena sabung ayam eksis. Langsung saja kubersihkan diri, bersiap untuk menyambut pagi yang sudah lebih dulu menyapaku dengan mendung dan angin kencang. Ya, aku yakin mendung ini akan segera dibawa lari, menyisakan selimut-selimut matahari, yang akan mengiringi kayuhku menuju alam bebas.
Rencana menuju ke rumah burung kokokan akhirnya tercapai juga. Setelah menunggu langit menunjukkan celah-celah cahaya, dan aku pun siap memulai perjalanan, meski cuma berdua bareng kak manger, teman band-ku dulu yang sekarang lagi menggila dengan biking (cycling = sebutan kerenku untuk bersepeda). Sambil pemanasan, kukayuh dulu sepedaku ke dagang bubur terdekat, untuk sekadar sarapan penahan lapar sebelum makan siang. Di warung ini memang terkenal dengan menu ala Bali yang khas.
Ketika kutengok jam diponsel, kak manger belum juga muncul, padahal menu pagi sudah kuhabiskan. Kuputuskan saja untuk menjemput ke rumahnya yang kebetulan kudapatkan dia sedang bersiap untuk berangkat pula.

Tepat pukul 7 kurang 15 menit, kami memulai kisah petualangan dengan kecepatan penuh. Maklumlah adanya, terbiasa dengan kecepatan jalan bypass sewaktu bolak-balik bukit Jimbaran dulu. Abiansemal, Semana, Sayan, dan akhirnya sampai juga di Ubud. Sambil minum, istirahat dulu di wantilan sembari menyaksikan orang-orang lalu lalang menuju tempat kerjanya, mungkin di hotel-hotel atau restoran terdekat. Kulihat dua orang sedang menikmati udara pagi, nampaknya seorang ayah dan anaknya yang mengendarai sepeda yang hampir persis dan kami kira harganya agak lumayan.
Kami melanjutkan perjalanan tepat ke utara melewati SMA 1 Ubud, dimana beberapa teman lama sempat sekolah disana. Sebut saja nama sri atau monik.. :D

Manger in action
Memang daerah ini terkenal dengan villa, yang berada persis ditepi lembah-lembah persawahan, suatu pemandangan yang rupanya disukai banyak wisatawan. Berjejer disebelah kiri jalan raya dan memandang lepas kearah pangkung/jurang di baratnya, yang oleh para turis disebut nice view. Foto-foto dulu yuk, baru lanjuttt…..

Jalan mulai menanjak agak tajam, lalu belok kanan, melewati anak kecil yang dengan santainya mendahului sepeda kami, entah mendapat doping apa dia. Pas pertigaan ada petunjuk mengatakan, petulu belok kanan 600 meter.
Ket: Rumah tinggal bagi ribuan kokokan bird
Ya, akhirnya sampai juga. Ini dia, seekor kokokan mulai belajar membajak sawah, walau cuma dengan kaki panjangnya. Dan, lihat, kerumunan burung-burung putih ini, di dahan-dahan pohon nangka yang tumbuh rapi di depan rumah-rumah penduduk. Tampak mereka sedang menyiapkan sarapan pagi untuk anak-anaknya yang memang telah bernyanyi sedari tadi di atas sarangnya sambil menunggu disuapin ibu mereka. Kotorannya tampak berserakan di atas tanah, ataupun tembok pekarangan. Saya pun sempat hati-hati mengambil beberapa gambar, takut-takut ditimpa rejeki bila terlalu lama berada dibawah pohon.

Puas menikmati polah tingkah mereka, kami lanjutkan perjalanan ke timur menuju Tegallalang. Barang-barang antique yang banyak dipajang di toko-toko sepanjang jalan mengingatkan saya pada sebuah losmen di Ubud, tempat seorang teman jepang yang menginap waktu kunjungannya di Bali beberapa bulan silam.
Teringat akan babi guling bu oka, kak manger menyarankan agar segera kembali, mencari arah Ubud menemui ibu itu di warungnya yang terletak di Ubud. Sampai di depan warung, ternyata babinya belum matang, jadi dengan tampang agak sedikit kecewa kita lanjutkan perjalanan mencari tempat yang saya kira Kaka (personel Slank) pernah menciptakan lagu disana, Tepi Campuhan judulnya. Telusur-telusur, rupanya jalan masuk kesana pernah saya lewati, dekat sebuah SMK swasta dan disebelah pura yang saya rasa merupakan pura yang sangat bersejarah, khususnya dengan kedatangan empu-empu suci ke Bali. Jadi dengan keyakinan tinggi kami bersiap untuk petualangan selanjutnya.

Menikmati lembah seribu pujian
Meski, kaki dan paha sudah mulai terasa mengeras, kami mulai memasuki areal DAS (baca: daerah aliaran sungai), tepatnya diantara dua buah sungai yang nantinya akan menjadi satu alias bercampur, melahirkan kata campuhan (campuh = campur). Memang, tempatnya sangat menakjubkan. Dikelilingi ilalang yang luas, ketika terlihat seorang petani sedang memanen ilalang yang sayangnya hasil goretan sabitnya tidak membentuk sebuah crop circle yang sempat ramai dibicarakan di media massa. Dari kejauhan tampak dua pasang muda-mudi sedang memadu candu-candu asmara, yang sayangnya saat itu saya lihat mengenakan pakaian sekolah, jadi saya berkesimpulan mereka membolos untuk pacaran, ck...ck…ck… but it’s ok, have fun guys.. seruku dalam hati.

Mendaki gunung - lewati lembah
Lembah ini sungguh menantangku, banyak naik turun, merepotkan saya ketika harus mengayuh sepeda menaiki jalan setapak yang telah dilapisi balok-balok semen berupa lempengan-lempengan mirip keramik lantai. Di kejauhan tampak beberapa rumah yang mungkin juga vila berdiri tegar sepanjang sisi jurang dan sesekali nampak pohon palem menghiasi tepian terjal yang penuh rumput dan semak. Sampai juga akhirnya diujung jalan, ketika mulai terlihat beberapa rumah penduduk yang ternyata sudah di desa. Jalan raya yang memiliki tanjakan paling terjal dan panjang yang pernah saya temui, membuat saya harus turun menggiring sepeda meski dengan langkah yang begitu perlahan.

Berharap akan datang keajaiban 'Padi'

Begitu tiba diatas kembali dan berhenti sejenak untuk mengganti minuman botol yang telah habis dimana sebuah warung kecil telah menunggu, persis di depan pura. Sambil menikmati menu tradisional kami beristirahat sejenak mengembalikan separuh tenaga yang habis terkuras diantara lereng-lereng terjal dan lembah nan hijau.

Goes..goes.. mesti segera beranjak, soalnya matahari mulai nampak saat mendung telah habis terbawa angin. Kukayuh lagi tunggangan ramah lingkungan ini melewati jalan raya dan akhirnya tiba di Sayan dan terus berusaha menambah kecepatan, pasalnya selalu terbayang pada selera tinggi orang Bali yang sudah menanti. Mumpung dibayarin :-D Memasuki Semana kembali sebelum akhirnya bertemu beberapa jembatan yang membawa kembali pulang ke Abiansemal. Sebuah desa yang dikelilingi sawah-sawah jika kita akan memasuki desa meski ditempuh dari arah mana saja.

Dan akhirnya, tiba juga waktu untuk menikmati makan siang ala restoran high class dengan menu kulit kering, dan sup daging disisipi lawar khas Balinese banget. What a nice advanture, gumamku.

Sebaiknya sampai disini saja diakhiri cerita ini, soalnya endingnya lagi happy, jadi biar kesannya tidak berkurang dan memang setelah ini cuma pulang ke rumah dan istirahat. Meski sempat ngelap tangkringan.



0 komentar:

Posting Komentar