27 Apr 2011 0 komentar By: Gede Astawan

Sembahyang ke Pura Gunung Raung dan Pura Samuan Tiga

Siang itu Rabu 27 April 2011, jam 12.05 saya telah bersiap-siap berpakaian, sambil menunggu matahari agak condong ke ufuk barat. Jam 12.30 teman pun datang dan kami berdua segera berangkat menuju tujuan awal yang kira-kira direncanakan 2 hari lalunya. Untung saja hari cerah namun cuaca agak berawan jadi tidak terlalu panas. Adalah Pura Gunung Raung di desa Taro kecamatan Tegallalang, dan Pura Samuan Tiga di desa Bedulu, Kec. Blahbatuh, Kab. Gianyar - Bali tujuan kami sekarang.
Segera berangkatlah kita menaiki motor grand bututnya si bli Ketut Agus, menuju Tegallalang, so jalan yang ditempuh adalah Juwet, Semana, Ubud, Petulu, Tegalalang. Sengaja memilih trek ini yang memang banyak sekali sawah-sawah hijau yang masih membentang. Jadi masih menikmati dulu sisa-sisa jamrud khatulistiwanya Indonesia yang sudah tergerus sedikit demi sedikit atau malah banyak demi sebanyak yang baru saja Indonesia meraih gelar Guinnes Record untuk penggundulan hutan tercepat di dunia. :D
Melewati petulu, terlihat cuma ada beberapa Kokokan/burung bangau yang bertinggah di dahan-dahan pohon nangka, mungkin kawanan lainnya sedang mencari makan. Tiba juga di Tegallalang dengan ciri khasnya banyak artshop atau kita sebut saja toko yang menjual barang seni dan antik. Mulai dari patung, kerajinan pecahan kaca, kayu dan akar pohon, dan banyak lagi antik-antik yang dipajang. Selama sejam perjalanan dari rumah rupanya awan mulai tebal dan hujan rintik-rintik semakin deras memaksa kami berteduh di salah satu workshop kerajinan yang kebetulan ada orangnya lagi bikin kerajinan tentunya.
Desa Taro terkenal dengan kerajinan Paras Taronya
Setelah hujan reda saya sempat bertanya arah ke desa Taro pada seorang karyawan, dan ternyata persis seperti feeling si agus kalau jalan masuknya sudah lewat. Tapi tidak terlalu jauh sie, mungkin kira-kira 200 meter. So, mesti balik haluan 180 derajat dan on the way sekali lagi ke arah barat dipertigaan yang sudah berisi tanda plang menuju pura Gunung Raung Kahyangan Jagat.
Bentang alam Taro yang luar biasa
Jalannya turun agak terjal dan banyak pohon, wow ternyata bentang alam yang luar biasa penuh dengan relief ekstrem. Sungguh pemandangan yang mantap untuk beberapa pengendara sepeda gunung yang sempat kami lewati sepanjang jalan desa yang sedikit agak rusak aspalnya. Akhirnya tiba juga di Desa Taro tepatnya Banjar Kaja Taro. Konon menurut sejarahnya, desa ini didirikan oleh seorang Rsi Suci yang berasal dari garis perguruan Maharkandya di India, yakni Rsi Markandeya. Setelah sempat mengalami musibah sewaktu kedatangan beliau untuk yang pertama ke Pulau Bali, akhirnya setelah melakukan tapa brata yoga samadhi di
Papan himbauan kepada umat dan pengunjung/turis
Pesraman/Perguruan beliau di Gunung Raung di Jawa Timur, akhirnya beliau memperoleh pewisik untuk terlebih dahulu menanam Panca Datu atau lima unsur alam di desa Basukian di kaki gunung Agung sehingga sekarang menjadi Pura Besakih. Setelah kedatangan beliau yang kedua itu akhirnya beliau berhasil merabas hutan dan mendirikan sebuah desa di daerah Sarwa Ada alias Sarwada yang kemudian menjadi Taru dan akhirnya menjadi Taro yang mana akhirnya beliau mendirikan Pura untuk mengingatkan dan memuja kepada pesraman beliau yang ada di Jawa Timur sesuai dengan nama gunung tempat pesraman tadi yakni Pura Gunung Raung.
Ternyata pas kedatangan kami, telah ada kegiatan/karya yang masih menunggu bulan pitungdina/ 1 bulan 7 hari minggu depannya. Jadi pura telah dihias dengan berbagai sarana upacara.
Gb. Pintu Masuk Utara
Saya dan agus langsung masuk ke pura setelah sempat bertanya pada penduduk setempat kalau - kalau ada Pemangku yang sedang ngayah. Rupanya Pura Gunung Raung sangat luas. Disana terdapat empat pintu masuk ke areal pura. Sempat berkeliling dan masuk ke jeroan utama/utama mandala saya menghaturkan canang/persembahan dan mulai sembahyang/berdoa. Selesai sembahyang terlihat seorang bapak menuju ke arah kami dan sempat terjadi dialog mengenai asal - usul pura sekadar untuk meyakinkan saya dengan buku yang pernah saya baca. Dan hasilnya cocok.

Perjalanan dilanjutkan menuju ke Pura Samuan Tiga sebelah timur Goa Gajah. Kali ini akselerasi lebih cepat karena jalanan menurun. Sebelum sampai tepat di pura, kami singgah dulu di warung pinggir jalan untuk melepaskan dahaga yang sedari tadi menghampiri tenggorokan saya. Cukup juice alpukat tanpa camilan apa-apa.
Menuju pura menuruni tangga
Setibanya di pura, saya sempat tercengang karena tempat parkir yang agak lebih tinggi dari pura, sehingga pura nampak tidak kelihatan. Hanya beberapa pohon beringin tinggi nampak tidak jauh dari areal parkir. Selesai merapikan pakaian, kami segera menuju pura, dan ternyata ada iring-iringan gebogan(persembahan buah-buahan yang tersusun sedemikian rupa dijunjung) yang dibawakan rapi oleh ibu-ibu dengan pakaian stelan seragam diiringi gamelan Beleganjur/musik bali yang penabuhnya saya lihat masih anak-anak muda. Beruntung sekali pikir saya karena tidak hanya satu tapi dua banjar/kelompok berbeda yang membawakan.
Masuk ke pura kami langsung mendapatkan tempat kosong karena baru pergantian setelah persembahyangan bersama sebelumnya.
Iring-iringan Ibu-ibu menjunjung Gebogan
Setelah canang/persembahan kami diantarkan dan dipuja oleh pemangku setempat, persembahyangan dimulai dan diakhiri dengan menerima percikan tirta/air suci sebagai simbol telah mendapatkan anugerah yang baik dan keselamatan dari Tuhan Yang Maha Esa. Ternyata di Pura Samuan Tiga, pemedek/umat mesti melakukan persembahyangan di 4 tempat yang masih dalam areal pura yang memang sangat luas hampir seperti di pura-pura besar lainnya di Bali. Pertama bersembahyang di Pura Beji sebagai lambang pembersihan terhadap badan jasmani dan rohani, kemudian di Pura Pelinggihan Ida Panji Sakti, Sanghyang Sedana dan yang terakhir di Pura Utama Mandala Samuan Tiga.
Gebogan/Soda adalah Persembahan dengan unsur buah-buahan, bunga dan daun dan dihias sedemikian rupa sesuai dengan estetika/keindahan dan seni orang Bali sejak jaman dulu.

Kami pun menyempatkan diri untuk bersembahyang di pura-pura tersebut sebelum mengakhiri perjalanan tirtayatra/mengunjungi tempat suci dengan menikmati pemandangan pura yang sungguh menyejukkan dengan desain arsitekturnya yang luar biasa. Sangat terasa sekali aura kesucian dan kedamaian pura yang konon dipakai oleh Empu Kuturan, salah seorang dari Panca Rsi/Lima Empu(pendeta) dari Jawa yang datang ke Bali, untuk mengajarkan Hinduisme. Beliau dikatakan seorang penganut Buddhisme yang akhirnya menyatukan seluruh paham/aliran keagamaan Hindu yang ada di Bali dengan konsep Tri Murti atau tiga manifestasi Tuhan Yang Maha Esa. Beliau juga mendirikan desa adat dengan puranya yang disebut Kahyangan Tiga, yakni Pura Desa, Pura Puseh dan Pura Dalem yang masing-masing memuja Dewa Brahma, Dewa Wisnu dan Dewa Shiwa. Nah... di Pura inilah konon beliau mengadakan pesamuhan/paruman/sidang dengan semua unsur pendeta dari masing-masing sekte/aliran/paham untuk menyatukan persepsi agar terjadi kerukunan umat sesuai dengan tujuan dari agama itu sendiri. Memang pada akhirnya semua menuju kepada satu Tuhan yakni Yang Maha Esa Sendiri. Walaupun terdapat banyak manifestasi Beliau yang sesuai dengan jiwa dan hati serta kelahiran dari seseorang manusia itu. Yang terpenting adalah kesadaran bahwa Ekam Sat Wiprah Bahuda Wadanti (sloka Hindu) yang berarti Tuhan itu tunggal, namun orang bijaksana menyebut-Nya dengan banyak nama. Jadi bijaksana dan cerdaslah orang yang telah mengetahui dan memahami hal tersebut.
Akhirnya kami harus segera menuntaskan perjalanan kali ini dengan menikmati hidangan favorit saya juga sebagai makan malam di senggol Gianyar yang waktu itu lumayan ramai seperti hari-hari biasanya. Yang berbeda menurut saya adalah banyak pengunjung dengan pakaian sembahyang karena bertepatan dengan Hari Raya Pagerwesi di Bali.
= Tamat =
23 Apr 2011 0 komentar By: Gede Astawan

Hari Raya Saraswati

Dewi Saraswati (sumber: http://dexukeba.blogspot.com)
Hari Saraswati adalah hari turunnya ilmu pengetahuan suci ke dunia untuk menuntun umat manusia dan semua makhluk untuk memcapai kesadaran tertinggi. Perayaan yang diperingati setiap 210 hari atau lebih kurang 7 bulan masehi adalah salah satu bentuk pemujaan kepada perwujudan Tuhan Yang Maha Esa sebagai dewi ilmu pengetahuan yaitu Dewi Saraswati.


gambar: ballidah.wordpress.com

Ilmu pengetahuan sering disebutkan dengan perlambang seorang Dewi atau wanita cantik, dengan maksud adalah ilmu pengetahuan khususnya ilmu pengetahuan suci merupakan hal sangat menarik untuk kita pandang, dekati dan pelajari. Umat Hindu di Bali khususnya akan merayakan hari Saraswati di seluruh tempat suci yang ada, seperti di rumah, atau di Pura Kawitan, dan terutamanya di masing-masing sekolah yang memang memiliki tempat persembahyangan yang dalam hal ini adalah Padmasana atau Pura.
Tari Rejang, dipentaskan menjelang persembahyangan



Kalau dilihat secara umum, perayaan yang paling banyak dilakukan adalah di sekolah. Ini karena sekolah merupakan tempat belajar yang paling banyak kita jumpai saat ini, walaupun jaman dulu terdapat juga semacam pesraman atau perguruan-perguruan yang biasa juga disebut Asrham. Di sekolah merupakan tempat untuk belajar segala pengetahuan terutama kepada anak-anak usia produktif belajar. Pada usia ini seorang anak memiliki kecerdasan dan ketajaman pemahaman yang baik sehingga akan dengan cepat dapat menguasai sesuatu yang baru. Apalagi jika hal tersebut merupakan hal yang mereka senangi atau gemari. Seyogyanyalah lebih banyak ditanamkan budi pekerti dan cinta kasih kepada sesama, sehingga anak akan terbiasa untuk memiliki budi yang luhur dan mampu menghargai segala perbedaan yang ada.

Persembahan Canang Sari
Perayaan Saraswati biasanya dilakukan pagi hari, sesuai dengan filosofi bahwa waktu yang paling baik untuk belajar adalah pada pagi hari. Dimana pikiran dan badan masih segar untuk menyerap dan memahami segala penjelasan mengenai suatu ilmu atau prinsip. Persembahan yang dilakukan akan dipimpin oleh seorang pemangku atau juga seorang Sulinggih kalau itu diadakan di Griya dimana ada yang menjadi pendeta Hindu disana. Persembahan berupa Canang Sari dan Soda atau Gebogan merupakan hal yang paling banyak dihaturkan oleh umat Hindu di Bali khususnya. Biasanya siswa menghaturkan Canang Sari yang berisi sesari sesuai dengan keikhlasan dan Gebogan yang berisi buah-buahan dan bunga. Ini sesuai dengan empat macam persembahan yang boleh dihaturkan kepada Tuhan yakni Bunga (Puspam), Buah (Palam), Air (Toyam), dan Daun (Patram).
Pemangku sedang mengantarkan persembahyangan
Jadi kalau kita perhatikan setiap bentuk persembahan pasti akan mengandung keempat unsur tersebut. Adanya persembahan berupa daging hewan mungkin merupakan bentuk pemujaan yang ada di Bali sebelum masuknya Agama Hindu, dimana masih bersifat Animisme dan Dinamisme. Namun terutama yang harus diperhatikan adalah keikhlasan yang mempersembahkan. Bukan harus pada banyak atau besarnya persembahan. Meskipun besar atau kecil jika tidak didasari atas hati yang tulus dan ikhlas akan menjadi sesuatu yang sia-sia atau tiada arti. Maka dari itu hendaknya umat selalu menyadari atau membiasakan untuk menghaturkan buah atau keempat persembahan tadi kepada orang lain, baik kepada Pemangku yang telah mengantarkan persembahan itu atau siapapun agar tidak hanya dinikmati sendiri. Dari situlah bentuk nyata belajar keikhlasan dimulai.
21 Apr 2011 0 komentar By: Gede Astawan

Cinta

Sebuah kata yang penuh makna, memberikan arti bagi kehidupan dan perilaku. Didalamnya terkandung ungkapan, hati atapun kata. Sepadan dengan suka, tertarik, sayang, memiliki, menguasai, yang akhirnya terserah kepada setiap individu untuk memaknai. Terkadang bersifat pribadi, atau universal. Sebagai sebuah karakter dan kekuatan untuk merancang dan menjalankan suatu harapan, sehingga mampu terwujud.

Bila anak muda memandangnya, ia akan menjadi ketertarikan fisik dahulu, menuju kepada keterikatan jiwa yang bisa dangkal atau dalam. Bila tak diungkapkan ia dapat menjadi lebih dalam atau juga pudar setengah ataupun sepenuhnya. Kadarnya selalu berubah-ubah sesuai dengan kondisi emosi jiwa yang sedang dilandanya. Wanita dan pria masing-masing sangat berbeda dalam memahami dan mengekspresikannya. Masing-masing logika dan emosi memainkan peranannya. Cinta ini akan menyatukan dua individu dengan jalan harmonis yang berujung menjadi kenangan dan pelecut semangat kala rasa sudah biasa. Bila dipahami sebagai ibu, cinta akan menjadi kekuatan memiliki terhadap anak-anak yang dilahirkan dan atau dibesarkan.

Cinta yang universal memberikan kesejukan kepada dunia yang lebih luas. Tidak saja kepada satu individu tertentu, namun menjangkau seluruh mahluk hidup, bahkan semesta tempat bernaungnya semua ciptaan-Nya. Cinta ini lebih merasakan kedalaman dan lebih merasakan keluasan. Jadi bersifat lebih internal dan lebih eksternal. Mendoakan keselamatan jagat raya dengan tidak membedakan berbagai golongan manusia, mahluk hidup, dan tempat hidup. Tidak ada tempat untuk sekadar kebencian dan iri hati. Selalu merenungi setiap denyut alam dalam keheningan pikiran yang dicapai melalui keikhlasan dan keyakinan.

Banyak tokoh yang telah mampu mencapai cinta dan realitas yang tertinggi ini. Telah menghasilkan karya-karya agung berupa untaian kata yang telah ditulis atau didaraskan untuk menuntunkan kesejukan kepada jiwa manusia yang seyogyanya selalu rindu akan kebahagiaan tertinggi. Sesungguhnya inilah arti cinta yang sebenarnya. Yang pada akhirnya mengajarkan kita untuk saling menghargai sesama manusia, menghargai makhluk hidup lainnya, serta menghargai alam semesta, yang pada akhirnya akan memandang semua itu sebagai satu kesatuan yang utuh sebagai Ciptaan-Nya. Dengan menghadirkan cinta ini bagi semua, kecintaan yang tertinggi kepada-Nya akan tercapai.

Mulailah mencintai semua yang ada, mengasihi, memberkati, dan mulai menyadari bahwa hakikat cinta yang tertinggi ini.