Sekilas bentuknya seperti sebuah cincin, namun lebih tebal. Bisa juga dikatakan mirip dengan Lesung, yakni suatu alat tradisional indonesia, dan khususnya di Bali biasanya digunakan sebagai alat tumbuk oleh masyarakat tradisional. Namun benda yang satu ini tidak sebesar lesung. Ukurannya kira-kira sebesar ibu jari tangan kanan orang dewasa. Ia memiliki tinggi/panjang lebih kurang 2,3 cm dan diameter lebih kurang 2,3 cm juga. Kemungkinan bentuk dasar sebelum dibentuk sedemikian rupa adalah sebuah kubus.
Tetapi keunikannya yaitu benda ini memiliki lubang ditengah-tengahnya dengan diameter lubang yang berbeda pada kedua ujung lubang itu. Lubang yang lebih besar memiliki diameter kira-kira 1,1 cm dan lubang yang kecil memiliki diameter kira-kira 0,8 cm. Satu lagi keunikannya yang lain yaitu tepat ditengah-tengah daripada lubang itu, memiliki pembesaran kearah luar. Jadi seperti bentuk lubang pada batok kelapa yang masih utuh.
Benda unik ini diperkirakan adalah sebuah benda purbakala atau benda kuno oleh pemiliknya yang juga sekaligus adalah penemu daripada benda tersebut yaitu Bapak I Wayan Sumitra, S.Pd. yang berasal dari desa Gerih. Beliau menemukan benda ini di dasar telabah (telabah adalah suatu aliran kecil air mirip sungai yang merupakan cabang penghubung antara sawah yang satu dengan yang lain, serta berfungsi mengalirkan air dari bendungan di sungai menuju sawah-sawah) yang letak dari telabah ini tidak jauh dari rumah beliau. Beliau mendapatkan benda ini ketika "ngogo" yaitu suatu aktifitas tradisional masyarakat untuk mencari sesuatu di dasar sungai, berupa barang berharga seperti uang kepeng, dan terkadang beberapa perhiasan ditemukan. Beliau memiliki inisiatif untuk melakukan kegiatan "ngogo" ini di telabah, karena banyak warga masyarakat terutama wanita, biasanya mandi di telabah itu.
Beliau menemukan benda ini sekitar tahun 1970-an, dimana pada masa itu banyak orang, khususnya wanita dan anak-anak yang mandi disungai sebab keberadaan kamar mandi dirumah sendiri masih minim. Setelah sekian tahun beliau menyimpan benda kuno ini di rumahnya, pada suatu saat beliau teringat akan suatu permainan tradisional masa kecilnya, dimana beliau sering meniup buah atap, yaitu suatu buah yang memiliki bentuk sebesar buah duku, namun dengan struktur keseluruhan yang sekeras tempurung kelapa muda. Buah ini biasanya dilubangi di bagian tengahnya untuk kemudian ditiup sehingga berbunyi seperti peluit.
Nah berawal dari sinilah beliau kemudian mencoba untuk melakukan hal yang sama pada benda kuni ini. Namun setelah beberapa kali mencoba dengan berbagai posisi, akhirnya pada posisi yang pas yang memang sebetulnya ditetapkan untuk posisi meniup, maka benda inipun akhirnya mengeluarkan lengkingan suara yang benar-benar keras menusuk telinga. Beliau pernah beberapa kali memperlihatkan kepada saya, dan beberapa saat setelah berhenti ditiup, lengkingan dari suara yang dikeluarkan itu masih terasa sampai kedalam otak bahkan ke hulu hati. Seperti terasa agak mengganggu atau terasa tidak nyaman. Menurut saya frekuensi yang dihasilkan mungkin hampir mendekati batas tertinggi pendengaran manusia yaitu 20.000 hertz.
Kesimpulan yang didapat oleh beliau sendiri, yaitu kemungkinan benda ini dahulu kala dipergunakan untuk mengusir binatang buas, atau mengusir musuh. Sebab dengan mengingat efek yang ditimbulkan ketika ditiup bahkan setelah ditiup. Sedikit kemungkinan juga mengarah kepada kegunaannya yang lain yaitu untuk memanggil kawanan dari kelompok masyarakat tertentu yang sedang berburu secara berpencar di tengah hutan untuk berkumpul kembali. Jadi mirip seperti peluit pramuka pada aktifitasnya di lapangan.
Benda ini terbuat dari batu ketan yaitu bahasa bali untuk suatu jenis batuan yang memiliki struktur lebih keras daripada batu padas dan lebih lembut dari batu besi atau batu lahar. Lebih lembut dari jenis batuan yang dipakai untuk membuat lesung atau alat tumbuk tradisional tadi, dan banyak ditemukan di sungai dengan warna agak coklat sedikit kemerahan atau kekuningan. Kemungkinan batu ini dibuat dijaman logam, sebab alat yang bisa digunakan untuk melubangi bagian tengah batu tersebut harus sekeras dengan logam atau besi.
Tetapi keunikannya yaitu benda ini memiliki lubang ditengah-tengahnya dengan diameter lubang yang berbeda pada kedua ujung lubang itu. Lubang yang lebih besar memiliki diameter kira-kira 1,1 cm dan lubang yang kecil memiliki diameter kira-kira 0,8 cm. Satu lagi keunikannya yang lain yaitu tepat ditengah-tengah daripada lubang itu, memiliki pembesaran kearah luar. Jadi seperti bentuk lubang pada batok kelapa yang masih utuh.
Benda unik ini diperkirakan adalah sebuah benda purbakala atau benda kuno oleh pemiliknya yang juga sekaligus adalah penemu daripada benda tersebut yaitu Bapak I Wayan Sumitra, S.Pd. yang berasal dari desa Gerih. Beliau menemukan benda ini di dasar telabah (telabah adalah suatu aliran kecil air mirip sungai yang merupakan cabang penghubung antara sawah yang satu dengan yang lain, serta berfungsi mengalirkan air dari bendungan di sungai menuju sawah-sawah) yang letak dari telabah ini tidak jauh dari rumah beliau. Beliau mendapatkan benda ini ketika "ngogo" yaitu suatu aktifitas tradisional masyarakat untuk mencari sesuatu di dasar sungai, berupa barang berharga seperti uang kepeng, dan terkadang beberapa perhiasan ditemukan. Beliau memiliki inisiatif untuk melakukan kegiatan "ngogo" ini di telabah, karena banyak warga masyarakat terutama wanita, biasanya mandi di telabah itu.
Beliau menemukan benda ini sekitar tahun 1970-an, dimana pada masa itu banyak orang, khususnya wanita dan anak-anak yang mandi disungai sebab keberadaan kamar mandi dirumah sendiri masih minim. Setelah sekian tahun beliau menyimpan benda kuno ini di rumahnya, pada suatu saat beliau teringat akan suatu permainan tradisional masa kecilnya, dimana beliau sering meniup buah atap, yaitu suatu buah yang memiliki bentuk sebesar buah duku, namun dengan struktur keseluruhan yang sekeras tempurung kelapa muda. Buah ini biasanya dilubangi di bagian tengahnya untuk kemudian ditiup sehingga berbunyi seperti peluit.
Nah berawal dari sinilah beliau kemudian mencoba untuk melakukan hal yang sama pada benda kuni ini. Namun setelah beberapa kali mencoba dengan berbagai posisi, akhirnya pada posisi yang pas yang memang sebetulnya ditetapkan untuk posisi meniup, maka benda inipun akhirnya mengeluarkan lengkingan suara yang benar-benar keras menusuk telinga. Beliau pernah beberapa kali memperlihatkan kepada saya, dan beberapa saat setelah berhenti ditiup, lengkingan dari suara yang dikeluarkan itu masih terasa sampai kedalam otak bahkan ke hulu hati. Seperti terasa agak mengganggu atau terasa tidak nyaman. Menurut saya frekuensi yang dihasilkan mungkin hampir mendekati batas tertinggi pendengaran manusia yaitu 20.000 hertz.
Kesimpulan yang didapat oleh beliau sendiri, yaitu kemungkinan benda ini dahulu kala dipergunakan untuk mengusir binatang buas, atau mengusir musuh. Sebab dengan mengingat efek yang ditimbulkan ketika ditiup bahkan setelah ditiup. Sedikit kemungkinan juga mengarah kepada kegunaannya yang lain yaitu untuk memanggil kawanan dari kelompok masyarakat tertentu yang sedang berburu secara berpencar di tengah hutan untuk berkumpul kembali. Jadi mirip seperti peluit pramuka pada aktifitasnya di lapangan.
Benda ini terbuat dari batu ketan yaitu bahasa bali untuk suatu jenis batuan yang memiliki struktur lebih keras daripada batu padas dan lebih lembut dari batu besi atau batu lahar. Lebih lembut dari jenis batuan yang dipakai untuk membuat lesung atau alat tumbuk tradisional tadi, dan banyak ditemukan di sungai dengan warna agak coklat sedikit kemerahan atau kekuningan. Kemungkinan batu ini dibuat dijaman logam, sebab alat yang bisa digunakan untuk melubangi bagian tengah batu tersebut harus sekeras dengan logam atau besi.
0 komentar:
Posting Komentar