Segera berangkatlah kita menaiki motor grand bututnya si bli Ketut Agus, menuju Tegallalang, so jalan yang ditempuh adalah Juwet, Semana, Ubud, Petulu, Tegalalang. Sengaja memilih trek ini yang memang banyak sekali sawah-sawah hijau yang masih membentang. Jadi masih menikmati dulu sisa-sisa jamrud khatulistiwanya Indonesia yang sudah tergerus sedikit demi sedikit atau malah banyak demi sebanyak yang baru saja Indonesia meraih gelar Guinnes Record untuk penggundulan hutan tercepat di dunia. :D
Melewati petulu, terlihat cuma ada beberapa Kokokan/burung bangau yang bertinggah di dahan-dahan pohon nangka, mungkin kawanan lainnya sedang mencari makan. Tiba juga di Tegallalang dengan ciri khasnya banyak artshop atau kita sebut saja toko yang menjual barang seni dan antik. Mulai dari patung, kerajinan pecahan kaca, kayu dan akar pohon, dan banyak lagi antik-antik yang dipajang. Selama sejam perjalanan dari rumah rupanya awan mulai tebal dan hujan rintik-rintik semakin deras memaksa kami berteduh di salah satu workshop kerajinan yang kebetulan ada orangnya lagi bikin kerajinan tentunya.
Desa Taro terkenal dengan kerajinan Paras Taronya |
Bentang alam Taro yang luar biasa |
Papan himbauan kepada umat dan pengunjung/turis |
Ternyata pas kedatangan kami, telah ada kegiatan/karya yang masih menunggu bulan pitungdina/ 1 bulan 7 hari minggu depannya. Jadi pura telah dihias dengan berbagai sarana upacara.
Gb. Pintu Masuk Utara |
Perjalanan dilanjutkan menuju ke Pura Samuan Tiga sebelah timur Goa Gajah. Kali ini akselerasi lebih cepat karena jalanan menurun. Sebelum sampai tepat di pura, kami singgah dulu di warung pinggir jalan untuk melepaskan dahaga yang sedari tadi menghampiri tenggorokan saya. Cukup juice alpukat tanpa camilan apa-apa.
Menuju pura menuruni tangga |
Masuk ke pura kami langsung mendapatkan tempat kosong karena baru pergantian setelah persembahyangan bersama sebelumnya.
Iring-iringan Ibu-ibu menjunjung Gebogan |
Gebogan/Soda adalah Persembahan dengan unsur buah-buahan, bunga dan daun dan dihias sedemikian rupa sesuai dengan estetika/keindahan dan seni orang Bali sejak jaman dulu. |
Kami pun menyempatkan diri untuk bersembahyang di pura-pura tersebut sebelum mengakhiri perjalanan tirtayatra/mengunjungi tempat suci dengan menikmati pemandangan pura yang sungguh menyejukkan dengan desain arsitekturnya yang luar biasa. Sangat terasa sekali aura kesucian dan kedamaian pura yang konon dipakai oleh Empu Kuturan, salah seorang dari Panca Rsi/Lima Empu(pendeta) dari Jawa yang datang ke Bali, untuk mengajarkan Hinduisme. Beliau dikatakan seorang penganut Buddhisme yang akhirnya menyatukan seluruh paham/aliran keagamaan Hindu yang ada di Bali dengan konsep Tri Murti atau tiga manifestasi Tuhan Yang Maha Esa. Beliau juga mendirikan desa adat dengan puranya yang disebut Kahyangan Tiga, yakni Pura Desa, Pura Puseh dan Pura Dalem yang masing-masing memuja Dewa Brahma, Dewa Wisnu dan Dewa Shiwa. Nah... di Pura inilah konon beliau mengadakan pesamuhan/paruman/sidang dengan semua unsur pendeta dari masing-masing sekte/aliran/paham untuk menyatukan persepsi agar terjadi kerukunan umat sesuai dengan tujuan dari agama itu sendiri. Memang pada akhirnya semua menuju kepada satu Tuhan yakni Yang Maha Esa Sendiri. Walaupun terdapat banyak manifestasi Beliau yang sesuai dengan jiwa dan hati serta kelahiran dari seseorang manusia itu. Yang terpenting adalah kesadaran bahwa Ekam Sat Wiprah Bahuda Wadanti (sloka Hindu) yang berarti Tuhan itu tunggal, namun orang bijaksana menyebut-Nya dengan banyak nama. Jadi bijaksana dan cerdaslah orang yang telah mengetahui dan memahami hal tersebut.
Akhirnya kami harus segera menuntaskan perjalanan kali ini dengan menikmati hidangan favorit saya juga sebagai makan malam di senggol Gianyar yang waktu itu lumayan ramai seperti hari-hari biasanya. Yang berbeda menurut saya adalah banyak pengunjung dengan pakaian sembahyang karena bertepatan dengan Hari Raya Pagerwesi di Bali.
= Tamat =