18 Feb 2011 0 komentar By: Gede Astawan

Tur Tenganan - Tirta Gangga


Nopember 2010. Pagi yang agak mendung, membawa gerimis menuruni daun-daun kelapa dekat jalan besar tempat kami mengumpulkan para pengelana-pengelana yang akan menelusuri suatu tempat yang indah di timur Bali.
Tongkrongan Kita
Agak ragu juga pagi itu, karena rintikan hujan sedikit menderasi baju-baju kami, beberapa teman ada yang taking picture sambil menunggu yang agak jauh masih menuju markas. Keberangkatan pun kami lakukan bersama saya sendiri, kenyung, adit, tutde, putu seseh dan temannya menerobos gemercik hujan yang mulai sepi. Saya paling yakin hujan ini pasti berhenti, walau di ufuk timur dan barat masih diselimuti awan-awan tebal nan pekat.

Melewati Mambal, Kengetan, dan akhirnya sampai juga di Patung Bayi Blahbatuh guna menjemput seorang teman lagi yang tinggal persis dekat pasar. Ya, Komang meski pada akhirnya telah harus menunggu beberapa saat untuk dia mempersiapkan tunggangannya.

Begitu komang muncul, kami mulai melanjutkan perjalanan menuju kota Gianyar yang pagi itu sudah ramai dengan hiruk pikuk pasarnya melayani para pembeli yang sedang mengisi segala kebutuhan pagi itu. Pertigaan Bangli belum begitu ramai ketika kami mesti melewatinya agar sampai di desa Gelgel.
Dari sini, road to Karangasem mulai terasa. Diiringi truk-truk pasir yang sudah memulai aktifitasnya sedari pagi sekali, kami melintasi kawasan galian c yang merupakan sumber kelimpahan pasir tak terbatas bagi Bali dulunya. Namun sekarang, areal seluas lebih kurang 250 lapangan sepakbola itu mulai membentuk cekungan yang lebih mirip lembah seperti di Arizona. :) Kenampakan geografis di gunaksa memang luar biasa mengundang decak kagum saya, karena sungguh belum pernah saya saksikan fenomena alam begitu anggun.

Perjalanan dilanjutkan dengan mengikuti jalan bypass Ida Bagus Mantra yang membentang dari padang galak sampai karangasem. Akhirnya tibalah kami pada suatu tempat yang bernama manggis. Karena saya masih agak bingung untuk menentukan jalan menuju kunjungan yang pertama, akhirnya bertanya pada beberapa bapak-bapak yang mangkal di sebuah pertigaan menuju ke suatu perkampungan tertentu. Mereka menunjukkan jalan itu persis beberapa menit sebelum kami melewati dan memutuskan untuk berbelok kiri sesuai petunjuk mereka dan tiba juga di Tenganan.
Wah, bertemu nenek-nenek yang membimbing kami memarkir motor tepat diantara barisan mobil-mobil yang telah lebih dulu hinggap disana.
Dengan langkah perlahan kami mulai memasuki salah satu desa tertua di Bali. Ternyata di sana ada tiga banjar yang menyokong satu desa adat Tenganan. Tampaknya aktifitas adat belum nampak, dan saya bersama beberapa teman memasuki salah satu rumah penduduk sambil mengucapkan salam yang nama telah nampak dua gadis sedang menenun.

Kain Tenun Tenganan Pagringsingan
Ya, kain Tenganan Pegringsingan yang terkenal itu dibuat disini, dengan olah keterampilan tangan.
Memang menurut ibu mereka, kain yang asli lebarnya kurang dari satu meter dengan panjang lebih kurang 2 meter tergantung selera. Jadi tidak seperti kamben yang sering kita pakai sembahyang ke Pura itu lho. Kain itu dijual dengan harga jutaan per biji, tergantung penawaran. Puas bercengkrama dengan empunya rumah, kami mohon diri untuk melihat-lihat alam di sekitar desa. Memang tampak asri dikelilingi perbukitan yang disakralkan. Bukit menjulang tinggi di sebelah timur, yang dari kejauhan tampak pohon-pohon besar menyelimuti puncak hingga kaki bukit, dimana terdapat banjar yang letaknya lebih timur dari yang pertama saya kunjungi.

Mengingat waktu, kunjungan tidak dilanjutkan ke wilayah itu. Setelah sempat beristirahat sejenak sambil berbelanja di warung setempat, kami harus mengakhiri pertemuan kami dengan desa ini.
Sebuah pulau kecil mirip batu besar
Perjalanan selanjutnya adalah menuju suatu sumber mata air, boleh dikatakan sebagai suatu oase yang sangat berlimpah di karangasem. Letaknya kira-kira setengah jam kearah timur laut dari kota karangasem. Sebelum melewati kota, kami sempat singgah ke pantai Candi Dasa. Mirip pantai pelabuhan, dari sini dapat terlihat sebuah batu besar yang menyerupai sebuah pulau agak ke tengah dari bibir pantai. Penduduk sekitar mengatakan ada tempat persembahyangan atau pura di pulau kecil itu.
Menikmati desiran angin ala bule..!! :))
Umumnya jika odalan harus ditempuh dengan perahu tempat tersebut. Ya mirip dengan pulau serangan sewaktu belum terhubung dengan dengan seperti sekarang. Menu yang ditawarkan di warung pantai ini beragam pula. Untunglah berbekal ketupat secukupnya jadi tinggal dibelikan bakso saja sudah cukup untuk mengisi perut yang sudah keroncongan sedari Tenganan tadi.

“Ayo berangkat !” Seru salah seorang teman. Rupanya setelah puas menikmati kapal-kapal berlayar menuju pelabuhan ………. Sekaranglah waktu yang tepat untuk menuju Tirta Gangga.

komang lagie mengagumi gunung Agung
Perjalanan kali ini bertambah seru. Sebab di kiri kanan jalan setelah melewati kota Karangasem, terhampar luas sawah-sawah menghijau yang bari ditumbuhi benih-benih padi seperti hamparan zamrud katulistiwa. Tertuju mata kami pada tegak berdirinya gunung berapi tertinggi di Bali yang menurut saya merupakan daerah resapan air dari mata air Tirta Gangga yang mengairi sawah sedemikian luas ini. Gunung Agung masih diselimuti awan putih yang kadang-kadang menarik dirinya karena seperti diterobos gerombolan burung-burung yang memanjakan diri mereka menikmati sejuknya hawa lereng gunung.
Sempat lewat juga sebelum akhirnya ketemu jalan masuk utama yang tadinya saya kira merupakan resort pribadi. Parkir yang kecil diusahakan menampung beberapa motor yang kita bawa. Begitu masuk pintu utama, dan membayar beberapa tiket, kami dipersilahkan masuk ke tempat yang saya sebut taman raja.
menikmati indahnya alam ini
Memang demikian ceritanya, bahwa tempat ini konon merupakan taman raja jaman dahulu kala, baik untuk sekedar mandi atau menikmati keindahan ikan-ikan yang banyak sekali terdapat di tempat ini. Banyak juga rupanya orang yang berkunjung kesini, ada domestik maupun mancanegara. Kolam air yang ditengahnya terdapat tugu seperti meru bertumpang dikelilingi air mancur dari beberapa patung.
Ternyata ada kolam renang juga. Maka dari itu saya putuskan untuk berenang bersama beberapa teman sementara yang lainnya tetap di wantilan barat beristirahat. Wah..dingin. tapi segar.. sejuk rasanya membasahi diri seperti ikan-ikan yang tadi kami sempat beri makan roti. Air yang jernih menambah kenyamanan meliuk-liuk diantara kumpulan orang yang juga asik menikmati guyuran air dari sebuah pancuran besar.
Setelah merasakan tubuh mulai menggigil, ada beberapa pancoran besar di samping kolam tempat membersihkan diri.
this is feeding fishes...
Benar-benar liburan yang mantap. Badan seger, pikiran pun jadi tenang.
Sepulang dari Tirta Gangga, jalan yang kami tempuh saya tunjukkan melalui sibetan. Saya kira jalan ini juga menyuguhi pemandangan yang tidak kalah afdol. Banyak tanjakan dan tikungan yang kami lalui seraya memacu motor-motor lebih kencang supaya tidak didahului teman yang lain. Sibetan adalah daerah penghasil salak, jadi di kiri kanan terdapat kebun-kebun salak alias pohon salak. Waktu menunjukkan pukul 5 sore ketika akhirnya di Gianyar kembali setelah sebelumnya sempat melewati bendungan sungai Unda yang sangat besar.

Kami pun kembali kerumah masing-masing, ketika saya sempat bersantap hidangan maknyus di pasar senggol Gianyar yang benar-benar menggoyang lidah. Memang ketika saya lewat di kota, saya biasanya menyempatkan diri untuk menikmati menu khas ala Gianyar yang mana sangat berkesan bagi saya dilidah terutama bumbunya itu lho…

Sampai bertemu dengan cerita tur berikutnya, yang sampai saat ini masih berupa rencana dikarenakan kesibukan masing-masing anggota skuadron pada pekerjaan ataupun studinya.

Wijaya Kusuma

Akhirnya bunga ini mulai mekar lagi, setelah sekian lama terdiam dia mulai menunjukkan keagungan yang setara dengan namanya.
Kenapa namanya mesti Bunga Wijaya Kusuma ya, barangkali sejarahnya ga lebih special dari sifatnya yang benar-benar pemalu.
Bagaimana tidak, bunga ini cuma mekar di hari-hari besar tertentu saja alias hari spesial, semisal Purnama, Galungan, etc. Ini saja dia mekarnya pas Hari Valentine, wow sungguh luar biasa.
Kalo sudah waktunya mekar, tangkai bunganya akan menjulang tegak dari daun tanaman yang notabene bunganya emang tumbuh dari daun. Lihat digambar. Tapi mulai besoknya, atau tepatnya setelah puncak kemekarannya dia akan tetap bergelantung sebelum akhirnya layu hari demi hari. Berapa hari ya masa layunya? Belum sempet dicek nih. Berhubung pas tulisan ini dimuat dia masih terlihat tetap segar walau ga bakal kita lihat dia mekar lagi.
Jadi untuk sementara kita sampai disini dulu ceritanya. Semoga Wijaya Kusuma tetap memberi inspirasi bagi kemajuan peradaban bangsa.
17 Feb 2011 2 komentar By: Gede Astawan

Nangkil ke Pura Tamba Waras

Tepat hari jumat tepat juga purnama sasih kesanga, dengan bermodal canang secukupnya dan dupa sekurangnya mulai berangkat jam 4 sore.
Setelah siap dengan pakaian sembahyang ala Hindu Bali lengkap kita akhirnya melaju di atas dua roda dendangkan serta lagu suci menuju sebuah Pura yang terletak di kecamatan Penebel kabupaten Tabanan tepatnya di desa Sangketan kalau tidak salah.
Yapz... Pura Luhur Tamba Waras lengkapnya.

Atas tuntunan inspirasi sendiri dan sebelumnya atas informasi dari seorang teman misterius akhirnya sampai juga di Pura. Dengan berbekal keberanian bertanya dan feeling indera ke-6 setelah melewati berbagai tempat baru nan indah layaknya surga yang belum terjamah.
Sempat bingung juga pas nyampe di pelataran parkir Pura, karena sempat sunyi senyap tanpa ada tanda pergerakan manusia, hanya tiupan angin kencang menggoyang dahan-dahan pohon nan tinggi.
Akhirnya seorang manusia berbaju putih yang ternyata adalah pengayah datang dan mempersilakan masuk Pura setelah sebelumnya sempat menanyakan asal.
Senang juga karena muncul lagi beberapa orang dan akhirnya lumayan rame.
Saya berdua pun akhirnya masuk (karena kebetulan berangkatnya juga berdua) lalu menuju Jeroan Utama sebelum akhirnya diantar ke Beji untuk membersihkan diri sembari sembahyang.
Selesai sembahyang, karena tidak nyaman untuk meditasi saking banyak orang lalu lalang untuk sembahyang juga, akhirnya setelah ditunjukkan oleh Pemangku menuju ke Pura Beji lagi yang letaknya agak jauh ke arah barat laut dari Beji pertama.
Wow, amazing... Jalan setapak seperti terlihat pada photo (yang benar photo apa foto ya :-o) mengundang decak kagum saya pada ciptaan Beliau yang luar biasa anggun. di kiri kanan hanya terlihat ilalang, rumput, pohon kelapa dan sesekali terlihat dua ekor burung tekukur bercanda dimabuk rayuan alam. Kami pun sampai, ya di Pura Beji Pingit, namanya. Habis maturan (persembahan) meditasi bisa dilaksanakan dengan khidmat. Luar biasa getaran di Pura ini, sungguh menyejukkan hati dan pikiran.
Sekembali dari sana, kami lalu sembahyang di Jeroan Utama dipimpin Jero Pemangku muspa bersama dan akhirnya sekali lagi dipimpin mepamit nglungsur wara nugraha mangda rahayu ring margine..

Luar biasa, that's all i can say.. Semoga ada yang tertarik untuk nangkil setelah membaca artikel singkat ini.
Tetap semangat untuk kedamaian dan kehidupan.